mamapedia search icon mamapedia icon

Subtotal

View Bag

Bayi Tabung untuk Program Hamil, Kenali Proses dan Risikonya

Bayi Tabung untuk Program Hamil, Kenali Proses dan Risikonya

Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga kecil tentunya adalah hal yang paling ditunggu oleh sepasang suami istri. Berbagai macam cara akan dilakukan oleh para orang tua agar cepat memiliki keturunan, mulai dari mengonsumsi makanan yang dipercaya dapat membuat cepat hamil, menjalani hidup sehat, melakukan hubungan seks secara teratur, sampai menjalani program bayi tabung.

Program bayi tabung atau yang secara medis disebut sebagai in vitro fertilization (IVF) adalah sebuah solusi bagi pasangan yang mengalami gangguan kesuburan untuk membantu proses kehamilan dan memiliki anak. Pada dasarnya, program bayi tabung dilakukan dengan cara menggabungkan sel telur dan sperma di luar tubuh. Setelah penggabungan, sel telur yang sudah dibuahi (embrio) akan diletakkan kembali ke dalam rahim.

 

Baca juga: Perkembangan Kehamilan di Minggu Pertama

 

Kondisi untuk Melakukan Program Bayi Tabung

Dilansir dari lama Mayo Clinic, program bayi tabung biasanya disarankan pada pasien wanita di atas usia 40 tahun yang mengalami gangguan kesuburan (infertilitas) atau pada pasien dengan kondisi berikut ini:

  1. Terdapat kerusakan atau penyumbatan pada tuba falopi.
  2. Riwayat operasi pengangkatan tuba falopi untuk sterilisasi.
  3. Gangguan ovulasi yang menyebabkan ibu kekurangan sel telur.
  4. Endometriosis, kondisi ketika jaringan dinding rahim tumbuh di luar rahim.
  5. Terdapat fibroid atau tumor jinak di dinding rahim.
  6. Produksi atau fungsi sperma terganggu. 5 buah ini dipercaya bisa meningkatkan kualitas sperma.
  7. Alasan infertilitas atau gangguan kesuburan yang tidak dapat dijelaskan. 

 

Proses Pelaksanaan Bayi Tabung

Sebelum menjalani prosedur bayi tabung, ada serangkaian tes yang akan dilakukan oleh dokter, yaitu Ovarian reserve testing untuk mengetahui jumlah dan kualitas sel telur; pemeriksaan penyakit infeksi menular, seperti HIV; pemeriksaan dinding rahim; percobaan pemindahan embrio tiruan untuk melihat ketebalan rongga rahim dan mencari teknik yang paling sesuai saat pengerjaan bayi tabung; serta tes sperma untuk mengetahui kuantitas dan kualitas sperma yang dimiliki pasien.

Prosedur bayi tabung terdiri dari 5 tahap, yaitu induksi ovulasi, pengambilan telur, pengambilan sperma, pembuahan, dan transfer embrio. 

  1. Induksi ovulasi atau pemberian hormon sintetis dan obat-obatan. Induksi ovulasi umumnya memerlukan waktu 1–2 minggu sebelum sel telur dapat diambil. Selama proses ini, pasien juga akan menjalani USG transvaginal untuk memastikan sel telur tumbuh, serta tes darah untuk memastikan hormon estrogen dan progesteron dalam kadar yang tepat.
  2. Pengambilan telur. Proses ini dilakukan 34 – 36 jam setelah suntikan hormon terakhir dan sebelum ovulasi. Proses pengambilan sel telur dari rahim dilakukan menggunakan jarum kecil, dengan panduan USG transvaginal. Lalu, beberapa sel telur akan disedot melalui jarum tersebut selama kurang lebih 20 menit. Telur yang sudah matang akan disimpan di inkubasi yang berisi cairan khusus untuk dibuahi sperma. 
  3. Pengambilan sperma. Dokter akan meminta pasien pria melakukan masturbasi atau mengambil sampel sperma langsung dari testis dengan menggunakan jarum. Tips mengatasi sperma yang kurang berkualitas.
  4. Pembuahan. Proses ini dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu melalui Inseminasi dengan mencampur sperma dan sel telur yang sehat dalam waktu semalaman hingga menjadi embrio; atau Intracytoplasmic sperm injection (ICSI) dengan menyuntikkan satu sperma sehat ke masing-masing sel ICSI. Proses ini umumnya dilakukan ketika kualitas sperma buruk atau proses pembuahan dengan cara inseminasi gagal dilakukan. 
  5. Transfer embrio. Tahap terakhir ini dilakukan 3–5 hari setelah proses pengambilan telur, saat embrio sudah mulai berkembang. Akan tetapi, sebelum embrio dipindahkan ke dalam rahim, dokter akan menjalankan tes untuk memeriksa apakah terdapat kelainan kromosom atau penyakit menular tertentu.

Setelah menjalani proses bayi tabung, pasien bisa beraktivitas kembali. Namun, hindari aktivitas yang berat karena dapat memicu rasa tidak nyaman pada rahim. Pasien juga bisa mengalami sembelit, kram perut, dan perut kembung akibat tingginya kadar hormon estrogen. Dokter akan meresepkan hormon progesteron sintetis dalam bentuk suntik atau pil, untuk digunakan selama 8–10 hari setelah transfer embrio untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan embrio di rahim.

Sekitar 12–14 hari setelah transfer embrio, pasien disarankan datang ke rumah sakit atau klinik untuk memeriksakan kehamilan. Bila berhasil terjadi kehamilan, dokter akan menyarankan penggunaan hormon sintetis dilanjutkan sampai 8–12 minggu dan menjalani kontrol kehamilan rutin. Jika hasil bayi tabung negatif, dokter akan meminta pasien untuk menghentikan penggunaan hormon progesteron. Pasien biasanya akan mengalami haid dalam 1 minggu. Namun jika tidak, periksakan ke dokter.

 

Baca juga: 5 Tips Periksa Kehamilan Bagi Ibu Hamil di Masa Pandemi

 

Risiko Program Bayi Tabung

Berikut ini adalah beberapa kemungkinan risiko yang terjadi dari program bayi tabung, antara lain:

  1. Hamil kembar, hal ini kemungkinan terjadi jika terdapat lebih dari satu embrio dipindahkan ke rahim. 
  2. Persalinan prematur atau dengan berat lahir rendah. 
  3. Sindrom hiperstimulasi ovarium, akibat suntik obat kesuburan, seperti human chorionic gonadotropin (hCG). Gejala sindrom ini biasanya berlangsung seminggu dan termasuk sakit perut ringan, kembung, mual, muntah, dan diare.
  4. Keguguran.
  5. Kelainan atau cacat lahir.
  6. Stres pada ibu yang mungkin disebabkan oleh terkurasnya waktu, tenaga, dan uang.
  7. Kehamilan ektopik atau kehamilan di luar rahim, seperti di tuba falopi.

Itulah proses dan risiko program hamil dengan bayi tabung. Moms sebaiknya konsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum memutuskan untuk melakukan program bayi tabung ini

Bagikan Artikel: