mamapedia search icon mamapedia icon

Subtotal

View Bag

Mengenal Retensio Plasenta, Saat Plasenta Tertahan di dalam Rahim

Mengenal Retensio Plasenta, Saat Plasenta Tertahan di dalam Rahim

Persalinan menjadi momen penuh persiapan para ibu hamil setelah mengandung selama sembilan bulan lamanya. Persalinan terbagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah ibu hamil akan mengalami kontraksi yang memicu pembukaan pada leher rahim.

Selanjutnya, adalah proses persalinan yang merupakan tahap kedua. Pada tahap ini, Moms mulai mendorong bayi keluar. Setelah bayi lahir, plasenta akan keluar beberapa menit setelah bayi dilahirkan. Nah, proses keluarnya plasenta ini merupakan tahap ketiga atau terakhir dari persalinan.

Umumnya, persalinan normal akan mengalami tiga tahap tersebut. Akan tetapi, pada ibu dengan kondisi retensi plasenta, plasenta tidak keluar dari rahim bahkan hingga durasi lebih dari 30 menit pascabayi lahir.

Melansir Mayo Clinic, retensi plasenta atau retensio plasenta yang dikenal juga dengan retained placenta, adalah kondisi di mana plasenta tidak keluar dalam waktu 30 menit setelah melahirkan. Kondisi ini bisa terjadi karena plasenta terperangkap di belakang serviks yang tertutup Sebagian atau karena plasenta masih menempel pada dinding rahim.

Jika tidak diobati, plasenta yang tertinggal dapat menyebabkan infeksi parah atau kehilangan darah yang mengancam keselamatan sang ibu.

Berdasarkan penyebabnya, retensio plasenta dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

- Placenta adherens, yang terjadi Ketika rahim tidak cukup kuat berkontraksi dan mengeluarkan plasenta. Kondisi ini disebabkan perlekatan Sebagian atau seluruh plasenta pada dinding rahim. Placenta adherens adalah jenis retensi plasenta yang paling umum terjadi.

- Plasenta akreta, terjadi ketika plasenta tumbuh terlalu dalam di dinding rahim. Umumnya kondisi ini disebabkan oleh kelainan pada lapisan rahim, akibat menjalani operasi caesar atau operasi rahim.

- Trapped placenta, adalah kondisi ketika plasenta sudah lepas dari dinding rahim, tetapi belum keluar dari rahim. Ini terjadi karena leher rahim (serviks) terlebih dahulu menutup sebelum plasenta keluar.

Retensio plasenta lebih berisiko dialami oleh ibu hamil dengan beberapa faktor berikut:

- Hamil saat berusia lebih dari 30 tahun

- Melahirkan di bawah usia kehamilan 34 minggu

- Mengalami proses persalinan kala 1 atau kala 2 yang terlalu lama

- Persalinan dengan janin mati dalam kandungan

Cara penanganan retensio plasenta bertujuan untuk mengeluarkan plasenta dari dalam rahim, menggunakan sejumlah metode. Antara lain:

- Mengeluarkan plasenta dari rahim menggunakan tangan. Prosedur ini harus dilakukan dengan hati-hati, agar tidak meningkatkan risiko infeksi

- Menggunakan obat-obatan. Beberapa obat bentuk suntik seperti ergometerine, methylergometrine atau oksitosin, dapat digunakan untuk membuat rahim berkontraksi, sehingga plasenta bisa keluar.

Baca juga: Hati-Hati Plasenta Previa pada Ibu Hamil

Selain dua metode di atas, dokter akan menyarankan pasien untuk sering berkemih. Hal ini karena kandung kemih yang penuh dapat mencegah keluarnya plasenta. Dokter juga akan menyarankan Moms agar segera menyusui, untuk memicu pelepasan hormone yang dapat meningkatkan kontraksi rahim dan membantu plasenta keluar.

Bila pelbagai metode di atas belum berhasil mengeluarkan plasenta dari dalam rahim, maka dokter akan menjalankan prosedur bedah. Langkah ini merupakan pilihan terakhir.

Nah, sebagai tindakan antisipasi, dokter akan merekomendasikan langkah pencegahan selama tiga tahap persalinan.

Pertama, pemberian obat-obatan seperti oksitosin, untuk merangsang kontraksi rahim dan mengeluarkan plasenta. Kedua, menjalankan prosedur controlled cord traction (CCT) setelah plasenta terlepas dari rahim. Dokter akan menjepit kemudian menarik tali pusar bayi sambal menekan perut Moms. Ketiga, melakukan pijatan ringan di area rahim sesudah bayi tidur, untuk mengembalikan ukuran rahim, merangsang kontraksi, dan membantu menghentikan pendarahan.

Bagikan Artikel: